Minggu, 23 Oktober 2011

TUGAS DAN WEWENANG, KEDUDUKAN, DAN FUNGSI MAHKAMAH AGUNG

TUGAS DAN WEWENANG, KEDUDUKAN, DAN FUNGSI MAHKAMAH AGUNG
A.  Tugas dan wewenang Mahkamah Agung (MA)
Menurut UU no. 14 tahun 1985 30 Desember 1985, Mahkamah agung  bertugas dan berwewenang untuk memeriksa dan memutuskan :
1.      permohonan kasasi
Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
2.      Sengketa tentang kewenangan mengadili
Kewenangan mengadili atau kompetensi yurisdiksi pengadilan adalah untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan memutus suatu perkara, sehingga pengajuan perkara tersebut dapat diterima dan tidak ditolak dengan alasan pengadilan tidak berwenang mengadilinya. Kewenangan mengadili merupakan syarat formil sahnya gugatan, sehingga pengajuan perkara kepada pengadilan yang tidak berwenang mengadilinya menyebabkan gugatan tersebut dapat dianggap salah alamat dan tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan kewenangan absolut atau kewenangan relatif pengadilan.
3.      Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Permohonan  peninjauan kembali ini diatur dalam uu no. 14 tahun 1985 MA yang akan dilampirkan pada makalah ini.
B.  Kedudukan Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung merupakan tinggi negara sebagaimana yang tercantum dalam Ketetapam Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978 dan merupakan Lembaga Peradilan tertinggi dari semua lembaga peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. Mahkamah Agung membawai 4 badan peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sejak Amandemen Ke-3 UUD 1945 kedudukan Mahkamah Agung tidak lagi menjadi satu-satunya puncak kekuasaan kehakiman, dengan berdirinya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 puncak kekuasaan kehakiman menjadi 2, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun tidak seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi tidak membawahi suatu badan peradilan.
C.  Fungsi Mahkamah Agung (MA)
1.      Fungsi Peradilan
a.       Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
b.      Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/ menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
2.      Fungsi Pengawasan
a.       Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
b.      Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang undang Mahkamah Agung Nomor14 Tahun 1985). Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3.      Fungsi mengatur
a.       Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b.      Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.

4.      Fungsi Nasehat
a.       Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.
b.      Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
5.      Fungsi Administratif
a.       Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b.      Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
6.      Fungsi Lain-Lain
Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.

Minggu, 16 Oktober 2011

Hubungan Antara Lembaga Tinggi Negara

            Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi dan kelembagaan negara, dapat dilihat apabila kita   mengetahui arti dari lembaga Negara dan hakikat kekuasaan yang dilembagakan atau diorganisasikan kedalam bangunan Wakil Ketua MPR RI kenegaraan. Lembaga negara     merupakan lembaga   pemerintahan   negara   yang berkedudukan di  pusat   yang   fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum   perubahan   mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden,   MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah perubahan, UUD 1945 menyebutkan bahwa lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY  tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara. UUD   1945   mengejawantahkan  prinsip kedaulatan yang tercermin dalam pengaturan penyelenggaraan negara. UUD 1945 memuat pengaturan kedaultan hukum, rakyat, dan negara karena didalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan yang berdasarkan   pada   hukum,   proses   penyelenggaraan   kedaulatan rakyat, dan hubungan antar Negara RI dengan negara luar dalam konteks hubungan internasional.
Disamping   mengatur   mengenai   proses   pembagian   kekuasaan,   UUD   juga mengatur mengenai hubungan kewenangan dan mekanisme kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan negara. Untuk dapat menelaah tentang hubungan antar lembaga negara tersebut, kita perlu mencermati konsep kunci yang dipakai dalam sistem pemikiran kenegaraan Indonesia.
Prinsip   kedaulatan   rakyat   yang   terwujudkan   dalam   peraturan   perundang undangan   tercermin   dalam   struktur   dan   mekanisme   kelembagaan   negara dan pemerintahan untuk menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari   segi   kelembagaan,   prinsip   kedaulatan   rakyat   biasanya   diorganisasikan   melalui   sistem   pemisahan   kekuasaan   (separation   of   power)  atau  pembagian kekuasaan (distribution of power). Pemisahan kekuasaan cenderung bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada lembaga- lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Selama ini, UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Kedaulatan rakyat dianggap sebagai wujud penuh dalam wadah MPR  yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara [Pasal 1 ayat (2), sebelum perubahan. Dari sini fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan wewenang lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA. Dalam UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak dikenal pemisahan yang tegas, tetapi berdasarkan pada hasil perubahan, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas dianut, misalnya mengenai pemisahan antara pemegang kekuasaan eksekutif yang berada di tangan Presiden [Pasal 5 ayat (1)] dan pemegang kekuasaan legislatif yang berada di tangan DPR [Pasal 20 ayat (1)]. Untuk   mengetahui   bagaimana   proses   penyelenggaraan negara menurut UUD, maka Prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan perlu dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan mekanisme kelembagaan antar lembaga negara. Dengan penegasan prinsip tersebut, sekaligus untuk menunjukan ciri konstitusionalisme yang berlaku   dengan   maksud   untuk   menghindari   adanya kesewenang-wenangan kekuasaan.
Contoh Hubungan lembaga kenegaraan :
1.        Hubungan Presiden dengan DPR dan DPD dalam pembentukan UU:
a.        Kekuasaan untuk membentuk UU berada pada DPR sebagaimana di tuangkan dalam pasal 20 ayat 1. rancangagn UU bisa dari RPR maupun dari Presiden yang disusun berdasarkan program legislasi daerah(Proglegnas)
b.      Masalah masalah yang dibahas antara lain pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dengan mengikutsertakan DPD.
c.       Dalam hubungan dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu, DPD memberikan pertimbangan atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR.
2.        Hubungan Presiden dengan DPR dan DPD dalam penyusunan APBN adalah :
RUU APBN diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, dalam pelaksanaan UU APBD preseden diawasi oleh DPR dan diperiksa oleh BPK sebagai pertanggung jawab keuangan negara hasil pemeriksaan diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.
3.        Hubungan BPK dengan DPR, DPD dan DPRD dalam pelaksanaan pengawasan adalah :
Salah satu fungsi yang dimiliki DPR adalah fungsi peengawasan, pengawasan dilakukan terhadap pelaksaan UU, APBN, dan kebijakan pemerintah serta DPR membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diahukan DPD serta meenerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK.
Tugas dan wewenang DPD yang berkaitan dengan DPR adalah dalam hal mengajukan RUU tertentu kepada DPR, ikut membahas RUU tertentu bersama dengan DPR, memberika pertimbangan kepada DPR atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR. Dalam kaitan itu, DPD sebagai lembaga perwakilan yang mewakili daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut adalah dengan mengedepankan kepentingan daerah. Dalam hubungannya dengan BPK, DPD berdasarkan ketentuan UUD menerima hasil pemeriksaan BPK dan memberikan pertimbangan pada saat pemilihan anggota BPK.  Ketentuan ini memberikan hak kepada DPD untuk menjadikan hasil laporan  keuangan BPK sebagai bahan dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, dan untuk turut menentukan keanggotaan BPK dalam proses pemilihan anggota BPK. Disamping itu, laporan BPK akan dijadikan sebagai bahan untuk mengajukan usul dan pertimbangan berkenaan dengan RUU APBN.
4.        MPR dengan DPR, DPD, dan Mahkamah Konstitusi
Keberadaan MPR dalam sistem perwakilan dipandang sebagai ciri yang khas dalam sistem demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD menunjukan bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur  anggota DPR untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur  anggota DPD untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan daerah tidak terabaikan. Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, maka pemahaman wujud kedaulatan rakyat tercermin dalam tiga cabang kekuasaan yaitu lembaga perwakilan, Presiden, dan pemegang kekuasaan kehakiman.
Sebagai   lembaga,   MPR   memiliki   kewenangan   mengubah   dan   menetapkan UUD, memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan   Presiden   dan/atau Wakil   Presiden,   melantik   Presiden   dan/atau Wakil Presiden, serta kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Dalam konteks pelaksanaan kewenangan, walaupun anggota DPR mempunyai jumlah yang lebih besar dari anggota DPD, tapi peran DPD dalam MPR sangat besar misalnya dalam hal mengubah UUD yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR dan memberhentikan Presiden yang harus dihadiri oleh 3/4 anggota MPR  maka peran DPD dalam kewenangan tersebut merupakan suatu keharusan.
Dalam hubungannya dengan DPR, khusus mengenai penyelenggaraan sidang MPR   berkaitan   dengan   kewenangan   untuk   memberhentikan   Presiden   dan/atau Wakil   Presiden,   proses   tersebut   hanya   bisa   dilakukan   apabila   didahului   oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR.
Selanjutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD. Karena kedudukan MPR sebagai lembaga negara maka apabila MPR bersengketa dengan lembaga negara lainnya yang sama-sama memiliki kewenangan yang ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.

5.        Hubungan Presiden dengan DPR dan Mahkamah Agung dalam memberikan pertimbangan adalah :
Presiden dalam melaksanaan kekuasaan sebagai selaku kepala negara mendapat pertimbangan antara lain :
a.         Mengangkat duta dgn memperhatikan pertimbangan DPR.
b.        Menerima penempatan duta negara lain dgn pertimbangan DPR.
c.         memberi amnesti dan abolisi dgn memperhatikan pertimbangan DPR.
d.        memberi grasi dan abolisi dgn memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
6.        Hubungan presiden dengan komisi yudisial dan DPR dalam pengangkatan hakim agung adalah :
Hubungan ini terjadi ketika pengisian anggota hakim agung pada mahkamah agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR selanjutnya disampaikan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim agung.
7.        Hubungan DPR Mahkamah Konstitusi, dan MPR dalam pemberhentian Presiden atau wakil presiden adalah :
Apabila DPR berpendapat Presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghiatan terhadap negara, korupsi, penyuapan dan tindak pidana lainnya atau perbuatan tercela.
8.        Mahkamah Konstitusi dengan Presiden, DPR, BPK, DPD, MA, KY
Kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Disamping itu, MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Dengan kewenangan tersebut, jelas bahwa MK memiliki hubungan tata kerja   dengan semua lembaga   negara yaitu apabila terdapat   sengketa   antar lembaga negara atau apabila terjadi prosesjudicial review yang diajukan oleh lembaga negara pada MK.
9.      Hubungan Komisi Yudisial dan MA
Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) menegaskan bahwa calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dari ketentuan ini bahwa jabatan hakim merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat   mandiri.   Dalam   hubungannya   dengan   MA,   tugas   KY  hanya   dikaitkan dengan fungsi pengusulan pengangkatan Hakim Agung, sedangkan pengusulan  pengangkatan hakim lainnya, seperti hakim MK tidak dikaitkan dengan KY.
10.  Tugas dan fungsi MPR
Perubahan tugas dan fungsi MPR dilakukan untuk melakukan penataan ulang Sistem ketatanegaraan   agar   dapat   diwujudkan   secara   optimal   yang   menganut sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi antarlembaga negara dalam kedudukan yang setara, dalam hal ini antara MPR dan lembaga negara lainnya seperti Presiden dan DPR.
Saat ini MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN maupun berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat   yang   memiliki   program   yang   ditawarkan   langsung   kepada   rakyat.   Jika calon Presiden dan Wakil Presiden itu menang maka program itu menjadi program pemerintah selama lima tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah melantik Presiden atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sudah terpilih. Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah:
1)    mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
2)   melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3)   memberhentikan   Presiden   dan/atau Wakil   Presiden   dalam   masa   jabatannya     menurut UUD.
4)   memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya
5)   memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.




Rabu, 28 September 2011

Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn.

1. Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.
Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya:
1. telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;
2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;
3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;
4. menjangkau dampak yang amat luas ;
5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2.Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah.Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.
5. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan

Sejarah Kebijakan Publik

    Pada jaman dahulu kala, tepatnya abad 18 SM, di Babilonia ada seorang raja bernama Hammurabi. Hampir sama dengan Peraturan Moses, Hammurabi juga membuat sebuah peraturan yang disebut Kode Hammurabi. Hal ini dilakukannya karena terjadi transisi daerah kekusaannya dari negara kota kecil (polis) menjadi negara yang wilayahnya lebih luas. Kode Hammurabi ini mencantumkan persyaratan-persyaratan ekonomi dan sosial untuk suatu permukiman urban yang stabil. Di mana, hak dan tanggungjawab didefinisikan menurut posisi sosial. Kode mencakup prosedur kriminal, hak milik, perdagangan, hubungan keluarga dan perkawinan, dana dan kesehatan, dan apa yang dikenal sekarang akuntabilitas publik. Misalnya, prosedur dirancang untuk mengatur gubernur, hakim, pegawai-pegawai lain…” (Dunn, 1998: 53)
sehingga, sesungguhnya pada saat itu sudah muncul apa yang kita kenal sekarang dengan Kebijakan Publik. Bahkan para analis kebijakan juga telah muncul di dalam praktek. Tokoh-tokoh kuno seperti Kautilya (300 SM), Aristoteles (384-332 SM) dan Machiavelli (1469-1527 M), Ronggowarsito, Mpu Tantular, Mpu Prapanca, dll adalah para pemikir yang kemudian menjadi penasehat raja
Jaman Pertengahan tidak banyak cerita tentang hal ini. Kemudian, Revolusi Industri terjadi di Inggris pada abad XVII. Muncul penemu-penemu seperti Johann Guttenberg, Issac Newton, Thomas Alfa Edison, dan banyak ilmuan sosial dan ekonomi lainnya. Orang menjadi terspesialisasi pada disiplin ilmu masing-masing. Dampaknya kepakaran mereka di bidang ilmu masing-masing ini pulalah yang menyebabkan kebijakan publik banyak terpacu, karena ditemukan kebutuhan mendesak di masing-masing sektor tersebut yang butuh regulasi. Mereka merumuskan masalah dan mencari solusi di bidangnya masing-masing. Salah satu pemicu perkembangan studi kebijakan publik berikutnya adalah, PERANG dan IMPERIALISME!”
Studi kebijakan semakin terpacu perkembangannya pada tahun 1960-an, yaitu ketika pemerintah Amerika Serikat mencanangkan program New Frontier dan Great Society. Sejak itu kebijakan publik meluas keseluruh dunia. Dan, tak lama kemudian dia sudah menjadi bagian dari ilmu pengetahuan sosial. Konflik dalam sejarah perkembangan studi kebijakan publik ini terjadi ketika pada awal perkembangannya, bahkan sebagian masih berlangsung hingga sekarang, banyak didominasi oleh perhitungan-perhitungan ekonomis dan teknis. Anggapannya adalah kebijakan publik itu harus terukur dan berimplikasi positif secara ekonomis. Apalagi waktu itu John Maynerd Keynes sedang dalam puncak kejayaan, di mana pandangan ekonominya banak memberi sumbangan bagi pembangunan negara.
Pada masa seperti inilah kemudian pada tahun 1951 muncul Harold Laswell, yang menolak adanya analycentric dalam studi kebijakan, dan lebih menekankan adanya integrasi dari sekian banyak ilmu dalam menganalisis kebijakan publik. Sehingga kebijakan publik lebih dapat menyentuh sisi-sisi sosial dan kemanusiaan, tidak melulu ekonomis
Gerakan kaum pro multi-disiplin tidak surut. Founding fathers-nya adalah Harold Laswell, yang menggunakan pendekatan multi-method dan multi disiplin. Herbert Simon dengan konsep pilihan rasional manusia dalam pengambilan keputusan. Charles Lindbloom dengan konsep incrementalism-nya ia mengatakan kebijakan publik itu complexly inter-active process without beginning or end. David Easton pada kemampuannya mencandra lingkungan eksternal dan internal yang menjadi input dalam kebijakan. Di Inggris, Sir Geoffrey Vickers mengemukakan tentang adanya value judgement. Dan, Yehezkhel Dror mengemukakan teori rational comprehensive
Perkembangan mutakhir studi kebijakan publik hari ini banyak bermunculan pakar yang berparadigma pos-modernisme. Seperti Marie Danziger (1995) yang mengatakan bahwa pendekatan postmodern dalam studi kebijakan lebih menjamin demokratisasi, dengan mengakomodasi external phenomena. Atau kemudian de Leon (1994) yang mengatakan bahwa paradigma positifis sudah tidak mampu lagi untuk mengcover fenomena dan problem sosial hari ini yang nyatanya sangat kompleks, ia menyumbangkan pikiran tentang limitred group dalam analisis kebijakan publik
Usia kebijakan publik sebagai sebuah bidang kajian sebenarnya masih banyak terjadi kontroversi. Apalagi jika kita merujuk pada pengertian dasarnya, yaitu sebagai perwujudan keinginan dari para sarjana sosial untuk memecahkan masalah-masalah sosial dilapangan (close the gap between knowledge and policy (Parsons, 1997: 21)), maka bisa jadi awal kemunculan studi ini jauh sebelum Laswell dilahirkan. Sehingga sebenarnya yang perlu di kemukakan dalam mempelajari studi kebijakan publik ini secara runtut adalah mencandra gejala-gejala jaman yang mengindikasikan keberadaannya.
Jika berangkat dari posisi di atas, maka bisa jadi benar apa yang di katakan oleh Dunn (1998) bahwa studi kebijakan publik ini sudah dapat di rasakan keberadaannya sejak abad XVIII sebelum masehi. Di mana lebih tepatnya pada masa itu terbit sebuah peraturan pemerintah Babilonia yang disebut Kode Hammurabi. Pada kesempatan tersebut Dunn mengatakan Contoh dokumen terkuno dari upaya sadar untuk menganalisis kebijakan publik ditemukan di Mesopotamia. Kode Hammurabi, ditulis oleh penguasa Babilonia pada abad XVIII sebelum masehi, mengekspresikan keinginan untuk membentuk ketertiban publik yang bersatu dan adil pada masa ketika Babilonia mengalami transisi dari negara kota kecil menjadi negara wilayah yang luas. Kode Hammurabi, yang memiliki kesamaan dengan hukum Musa, mencantumkan oersyaratan-persyaratan ekonomi dan sosiaL
, kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan.